Rabu, 24 Desember 2025

Tugas Terstruktur 10 : Analisis Studi Kasus:

 

Analisis Studi Kasus: Produksi Berkelanjutan Unilever Indonesia

A. Profil Perusahaan dan Latar Belakang

Nama Perusahaan: PT Unilever Indonesia Tbk
Sektor Industri: Manufaktur - Fast Moving Consumer Goods (FMCG)

Produk/Layanan Utama:
Unilever Indonesia memproduksi dan mendistribusikan produk konsumen meliputi home care (Rinso, Sunlight), personal care (Dove, Lifebuoy, Pond's), dan foods & refreshment (Royco, Bango, Wall's). Perusahaan mengoperasikan beberapa pabrik di Indonesia dengan kapasitas produksi jutaan unit per tahun.

Motivasi Adopsi Produksi Berkelanjutan:

  1. Kepatuhan Regulasi: Regulasi lingkungan Indonesia yang semakin ketat terkait limbah plastik dan emisi
  2. Tekanan Konsumen: Meningkatnya kesadaran konsumen millennial dan Gen Z terhadap produk ramah lingkungan
  3. Efisiensi Biaya: Target pengurangan biaya operasional melalui efisiensi energi dan material
  4. Brand Image Global: Komitmen grup Unilever global terhadap "Unilever Compass" dan target net-zero emissions 2039
  5. Competitive Advantage: Diferensiasi produk melalui sertifikasi keberlanjutan

B. Strategi Keberlanjutan yang Digunakan

1. Ekonomi Sirkular melalui Program "Plastic Action"

Unilever Indonesia menerapkan prinsip ekonomi sirkular dengan strategi 3R (Reduce, Reuse, Recycle) pada kemasan plastik:

  • Reduce: Mengurangi penggunaan plastik virgin hingga 50% pada 2025, beralih ke material daur ulang (PCR - Post Consumer Recycled) dan material alternatif
  • Reuse: Meluncurkan sistem refill station di retail modern untuk produk seperti Rinso dan Sunlight
  • Recycle: Bermitra dengan waste bank dan sektor informal untuk mengumpulkan 60,000+ ton plastik melalui program "Unilever Indonesia Foundation" dan kolaborasi dengan startup seperti Waste4Change

Kaitan dengan SCP: Strategi ini sejalan dengan pola Sustainable Production (meminimalkan input material virgin) dan Sustainable Consumption (mengubah perilaku konsumen menuju refill culture), sekaligus mengurangi tekanan pada landfill dan ekosistem laut.

2. Transisi Energi Terbarukan dan Life Cycle Thinking

Unilever menerapkan pendekatan Life Cycle Assessment (LCA) dalam optimalisasi proses produksi:

  • Energi Terbarukan: Konversi 100% grid electricity ke renewable energy di pabrik Cikarang dan Rungkut sejak 2020, menggunakan biomassa (sekam padi) dan solar panel
  • Efisiensi Air: Implementasi closed-loop water system dan teknologi membrane bioreactor untuk menurunkan water intensity
  • Green Formulation: Redesain formula produk untuk mengurangi carbon footprint (misalnya konsentrat deterjen yang mengurangi air dalam produk hingga 30%)

Kaitan dengan SCP: Life Cycle Thinking memastikan setiap tahap—dari raw material extraction hingga end-of-life—dioptimalkan untuk minimalisasi dampak lingkungan, sejalan dengan konsep cradle-to-cradle dalam SCP framework.

C. Indikator Keberlanjutan (Triple Bottom Line)

Planet (Lingkungan)

Data Kuantitatif (2023 vs baseline 2019):

  • Intensitas Emisi Karbon: Penurunan 52% CO₂eq per ton produksi (dari ~0.65 menjadi ~0.31 kg CO₂eq/ton)
  • Penggunaan Air: Pengurangan water intensity sebesar 34% (dari 1.8 m³ menjadi 1.19 m³ per ton produksi)
  • Waste to Landfill: Zero waste to landfill achieved di semua manufacturing sites sejak 2021 (100% waste dimanfaatkan sebagai RDF atau composting)
  • Plastik Daur Ulang: 18% dari total kemasan menggunakan PCR content, target 25% pada 2025

Profit (Ekonomi)

Dampak Finansial:

  • Penghematan Operasional: Estimasi penghematan Rp 47 miliar per tahun dari efisiensi energi dan pengurangan waste
  • Premium Product Revenue: Pertumbuhan 23% YoY dari lini produk dengan sustainability claims (Love Beauty and Planet, seventh generation)
  • Cost Avoidance: Pengurangan risiko regulasi dan potensi carbon tax mencapai Rp 15 miliar per tahun
  • Investor Confidence: Masuk dalam Sri-Kehati Index (indeks saham perusahaan berkelanjutan di BEI) meningkatkan valuasi perusahaan

People (Sosial)

Data Kualitatif dan Kuantitatif:

  • Keselamatan Kerja: LTIFR (Lost Time Injury Frequency Rate) 0.12 per 200,000 jam kerja, di bawah standar industri FMCG (0.5)
  • Fair Wage: 100% karyawan menerima living wage di atas UMR, dengan benefit kesehatan comprehensive
  • Pelatihan SDM: Rata-rata 42 jam pelatihan per karyawan per tahun, termasuk sustainability literacy program
  • Community Development: Pemberdayaan 15,000+ waste picker melalui program "Bijak Berplastik", meningkatkan pendapatan mereka rata-rata 35%
  • Women Empowerment: 42% posisi managerial diisi oleh perempuan, program UMKM woman entrepreneur melibatkan 5,000+ peserta

D. Dampak dan Evaluasi Hasil

Dampak Positif

Dampak Paling Signifikan:

  1. Lingkungan: Berkontribusi pada pengurangan 78,000+ ton emisi CO₂ per tahun (setara menanam 3.5 juta pohon), dan mencegah 60,000+ ton plastik masuk ke TPA/laut—dampak yang terukur dan substantial terhadap target Indonesia mengurangi sampah laut 70% pada 2025
  2. Sosial: Transformasi ekonomi sektor informal waste management dengan meningkatkan dignity dan income stability bagi ribuan waste picker, sekaligus menciptakan awareness massal tentang circular economy melalui jangkauan distribusi Unilever

Tantangan Utama

Kendala Terbesar:

Infrastruktur Daur Ulang yang Belum Matang — Indonesia memiliki tingkat recycling rate hanya ~10%, jauh di bawah target Unilever. Keterbatasan fasilitas washing dan processing PCR berkualitas food-grade memaksa perusahaan impor PCR resin, meningkatkan biaya hingga 40-60% dibanding virgin plastic. Ketergantungan pada sektor informal yang belum terstandarisasi juga menciptakan inkonsistensi supply chain material daur ulang.

Evaluasi Kritis

Efektivitas Strategi:

Unilever Indonesia menunjukkan komitmen genuine terhadap keberlanjutan dengan pencapaian terukur di ketiga pilar TBL. Pendekatan sistemik mereka—menggabungkan inovasi teknologi, business model transformation, dan kolaborasi multi-stakeholder—mencerminkan implementasi SCP yang relatif komprehensif.

Namun, beberapa kritik perlu diperhatikan:

  1. Greenwashing Risk: Meski data menunjukkan progress, gap antara target ambisius (25% PCR) dengan realisasi (18%) menunjukkan potensi overpromising. Marketing communication yang heavy pada sustainability claims harus diimbangi transparansi penuh mengenai scope 3 emissions (distribusi dan consumer use phase) yang belum fully disclosed.
  2. Systemic Change vs. Incremental: Strategi refill baru mencakup <5% total SKU. Untuk transformasi sejati, Unilever perlu radical business model shift menuju reusable packaging ecosystem, bukan hanya optimalisasi recyclable single-use plastic.
  3. Trade-off Tersembunyi: Penggunaan biomassa (sekam padi) untuk energi berpotensi bersaing dengan kebutuhan pangan ternak atau composting. Life Cycle Assessment yang genuinely holistic harus mengungkap trade-off ini.

Kesimpulan:
Unilever Indonesia merepresentasikan "strong sustainability frontier" di konteks industri FMCG Indonesia, dengan implementasi yang jauh melampaui rata-rata industri. Efektivitas strategi terbukti melalui data Triple Bottom Line yang solid. Namun, untuk mencapai keberlanjutan sejati (true sustainability), diperlukan akselerasi menuju degrowth-compatible circular model dan transparansi penuh value chain, bukan hanya eco-efficiency dalam business-as-usual framework. Kolaborasi dengan pemerintah untuk mempercepat infrastruktur daur ulang nasional menjadi kunci scaling impact ke industry-wide transformation.


Sumber Data:

  • Unilever Indonesia Sustainability Report 2023
  • Annual Report PT Unilever Indonesia Tbk 2023
  • Laporan "Plastic Action Indonesia" 2024
  • Data BEI dan Sri-Kehati Index 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas Terstruktur 11 : Laporan Green Supply Chain Management (GSCM)

  Laporan Green Supply Chain Management (GSCM) Studi Kasus: Air Mineral Dalam Kemasan Botol Plastik 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I...